HASIL BUDAYA DARI MANUSIA DAN PENDERITAAN
Hasil Budaya Lagu :
Genjer-Genjer
Berikut lirik lagu 'Genjer-genjer' asli dalam bahasa Using
dan terjemahannya:
Versi asli sesuai ejaan Bahasa Using Banyuwangi
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emake thulik teka-teka mbubuti genjer
Emake thulik teka-teka mbubuti genjer
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih
Genjer-genjer saiki wis digawa mulih
Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar
Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar
Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar
Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar
Emake jebeng padha tuku nggawa welasah
Genjer-genjer saiki wis arep diolah
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak
Sego sak piring sambel jeruk ring pelanca
Genjer-genjer dipangan musuhe sega
Terjemahan Bahasa Indonesia
Genjer-genjer di petak sawah berhamparan
Genjer-genjer di petak sawah berhamparan
Ibu si bocah datang mencabuti genjer
Ibu si bocah datang mencabuti genjer
Dapat sebakul dia berpaling begitu saja tanpa melihat
Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang
Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar
Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ibu si gadis membeli genjer sambil membawa
wadah-anyaman-bambu
Genjer-genjer sekarang akan dimasak
Genjer-genjer masuk periuk air mendidih
Genjer-genjer masuk periuk air mendidih
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Nasi sepiring sambal jeruk di dipan
Genjer-genjer dimakan bersama nasi (aws/dra)
ULASAN : lagu ini
dibuat seniman M Arif, pada 1943 untuk menyindir kondisi di masa penjajahan
Jepang. M Arif memang di era 60'an direkrut PKI dan masuk Lekra, organisasi
budayawan bentukan PKI. Lagu genjer genjer itu pun kerap dipakai di acara PKI
dengan diubah aransemennya. Dan kemudian lekat dengan stigma lagu PKI.
lirik lagunya berisi sindiran atas masa penjajahan Jepang di
Indonesia karena membuat kehidupan masyarakat pribumi semakin sengsara
dibanding sebelumnya.
Genjer-genjer sendiri merupakan tanaman yang tumbuh di
rawa-rawa yang kerap disantap itik. Namun seiring berjalannya waktu,
genjer-genjer juga menjadi sayuran alternatif bagi warga setempat karena tidak
mampu membeli daging kala itu.
Sumber :
https://m.detik.com/news/berita/3208566/ini-syair-lagu-asli-genjer-genjer-dari-bahasa-using-banyuwangi
Hasil Budaya
Cerpen :
Mimpi Anak Jalanan
Mimpi ku, seorang Bintang, hanya sederhana. Aku tak minta
sesuatu yang macam-macam. Aku tak minta rumah mewah, bergelimang harta, dan
bukan juga mobil sport macam Lamborghini. Aku hanya ingin, aku dapat merasakan
yang namanya mengenyam pendidikan, yang namanya merajut mimpi, yang namanya
menggapai cita-cita. Sederhana bukan? Setiap malam, aku selalu mengirim doa
pada Yang Maha Kuasa, bersimbah air mata di hadapanNya. Tapi selama sebelas
tahun aku terus berdoa, yang isinya itu-itu saja, selama itu pula Allah belum
menjawab dan mengabulkan doaku. Mungkin ini bukan takdirku, takdirku hanyalah
menjadi seorang pengamen yang bodoh. Tapi itu semua tak membuatku putus asa.
Justru membuatku semakin giat berdoa pada Allah.
“Hamba tak ingin menjadi pandai, tapi saat hamba pandai,
hamba lupa dengan Mu. Hamba tak ingin menjadi seorang kaya, namun saat hamba
kaya iman hamba rusak. Hamba tak ingin sehat, kalau dikala sehat, hamba
melupakan nikmat Mu. Hamba tak ingin hidup, tapi saat hamba diberi kesempatan
menghirup oksigen, hamba lalai dengan perintah Mu. Kalau memang Engkau belum
mengizinkan hamba duduk memperhatikan penjelasan guru, di dalam kelas, tak
mengapa, mungkin inilah yang terbaik untuk hamba,” hanya lima kalimat itu yang
dapat aku ucapkan usai shalat.
Umurku sudah sebelas tahun, tapi aku belum pernah merasakan
yang namanya kasih sayang kedua orangtua. Belaian lembut seorang Bapak, dan
pelukan sayang seorang Ibu. Tak pernah aku mencicipi yang namanya kasih sayang
dari orangtua. Aku saja, tak tahu dimana kedua orangtuaku.
Sejak kecil, aku hidup di antara debu jalanan, di antara
gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, di antara ketamakan manusia-manusia
zaman sekarang. Untuk menghidupi kebutuhanku, aku mencoba mengamen. Kebutuhan
hidupku hanya dua, makanan dan minuman. Tak ada gitar, atau kendang, hanya ada
tepukan tangan dan jentikan jari yang mengiringi nyanyianku. Sejak pemerintah
melarang masyarakat untuk memberikan uang pada pengemis dan pengamen sepertiku,
nasibku makin tak karuan. Hidupku semakin kelam. Apakah pemerintah itu tak
punya hati. Boleh saja mereka melarang masyarakat untuk memberikan uang untuk
aku dan teman-temanku, yang sama-sama mengamen. Dan mereka yang hanya bisa
menengadahkan tangan untuk mengemis. Tapi, pemerintah memberikan kami uang yang
pantas untuk kehidupan sehari-hari, setidaknya pekerjaan untuk kami. Kalian
semua hanya bisa memakan uang rakyat, hanya bisa menyengsarakan nasib kaum
lemah. Kalian semakin kaya, hidup mewah serba kecukupan, sementara kami, hidup
dalam penderitaan, hidup dalam kekejaman ekonomi, dan hidup jauh dari kalimat
sederhana.
Kalau kami tak dapat merasakan nikmatnya hidup dengan uang,
setidaknya berikan kami pendidikan yang layak. Kalau kami pintar, toh nantinya
bangsa ini yang semakin maju. Mana hati nurani kalian? Apakah tak ada satu
sajakah hati yang masih bersih, yang tak ternodai dengan korupsi, yang tak
ternodai dengan kemaksiasiatan, yang tak ternodai dengan keserakahan.
Aku cuma rakyat kecil yang tak bisa berbuat apa-apa. Ingin
melawan, kalian mengancam, ingin memberontak, kalian mengelak, ingin marah
kalian malah mencemooh.
Akankah keadilan akan datang. Kalian hanya diperkuda
jabatan. Kami muak dengan ketidak adilan dan keserakahan. Tolong dengarkan
suara rakyatmu wahai pemerintah bi*dab! Dengarkan jeritan marah kami setiap
detiknya, jerit marah karena ketidak becusanmu mengurus negeri tanpa kemudi
ini. Negeri kelam yang suram. Haruskah yang Diatas mengirimkan bala bencana
untuk kalian, barulah kalian sadar akan perbuatan iblis kalian sendiri? Tahukah
kalian Indonesia masuk dalam daftar 100 negara termiskin di dunia. Urutan ke
68. Seharusnya kalian malu, menjadi seorang pejabat pemerintah, maupun pejabat
negara, namun bangsanya masuk ke dalam daftar negara termiskin.
Hanya satu yang kuminta! Sejahterakanlah rakyatmu. Entah
dengan uang, dengan pendidikan yang layak, atau pelayanan sosial yang
memuaskan, atau setidaknya engkau berikan kami bahan makanan, sehingga kami tak
kekurangan gizi, tidak mengidap malnutrisi. Banyak keluarga kami yang terkena
marasmus dan kwasiokor. Penuhi janji-janjimu dulu saat kau akan dipilih oleh
kami. Mensejahterakan rakyat, tiada kemiskinan, semua perut rakyat akan
kenyang, dijamin semua dapat pekerjaan dan penghasilan yang tetap, pendidikan
akan dinomorsatukan, pelayanan umum akan dimaksimalkan, tiada kata korupsi. Itu
semua janji manismu. Tapi sekarang, apa yang terjadi? Lebih banyak rakyat yang
melarat dari pada yang berkecukupan, rakyat-rakyatmu kelaparan disini, perut
kami kosong selama tiga hari, sementara kalian disana kekenyangan dengan
makanan mewah berbintang lima yang dibeli dengan uang hasil korup, katamu dulu
semua rakyat akan mendapat pekerjaan dan gaji yang tetap, namun hasilnya nihil.
Saudaraku sibuk mengais sampah di setiap sudut kota, penghasilannya hanya cukup
membeli tiga potong roti, sedangkan tetanggaku sibuk meminta belas kasihan pada
para pejalan kaki dengan mengemis. Kalau katamu pendidikan dinomorsatukan,
kenapa aku masih mengamen dan bukannya belajar di dalam gedung sekolah. Bukti
lain kegagalanmu memimpin Indonesia pelayanan umum yang minus. Tak ada kata
Rumah Sakit untuk kami, karena kami tentu tak punya uang untuk membayar biaya
Rumah Sakit yang mahalnya selangit. Tiada kata korupsi? Bohong besar. Tiada
hari tanpa kata korupsi. Hak-hak milik rakyat kau rampas juga. Dasar PHP!
Pemberi Harapan Palsu.
Cerpen Karangan:
Maharani Rachmawati Purnomo
Unsur Instrinsik
1. Tema :
Seorang anak jalan yang bermimpi ingin menjadi seorang Bintang2. Alur : Maju
Mimpi ku, seorang Bintang, hanya sederhana. Aku tak minta sesuatu yang macam-macam. Aku hanya ingin, aku dapat merasakan yang namanya mengenyam pendidikan, yang namanya merajut mimpi, yang namanya menggapai cita-cita. Tapi selama sebelas tahun aku terus berdoa, yang isinya itu-itu saja, selama itu pula Allah belum menjawab dan mengabulkan doaku. Mungkin ini bukan takdirku, takdirku hanyalah menjadi seorang pengamen yang bodoh. Tapi itu semua tak membuatku putus asa. Justru membuatku semakin giat berdoa pada Allah. Saat ia selesai sholat, ia selau mengucapkan 5 kalimat saja. Umurku sudah sebelas tahun, tapi aku belum pernah merasakan yang namanya kasih sayang kedua orangtua. Sejak kecil, aku hidup di antara debu jalanan, di antara gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, di antara ketamakan manusia-manusia zaman sekarang. Kalau kami tak dapat merasakan nikmatnya hidup dengan uang, setidaknya berikan kami pendidikan yang layak. Aku cuma rakyat kecil yang tak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya kalian malu, menjadi seorang pejabat pemerintah, maupun pejabat negara, namun bangsanya masuk ke dalam daftar negara termiskin. Hanya satu yang kuminta! Sejahterakanlah rakyatmu.
3. Penokohan :
-Anak Jalan :
tidak pernah menyerah dan selalu berdoa
4. Sudut Pandang:
Akuan
4. Amanat :
Teruslah
bermimpi, jangan pernah menyerah dan teruslah berusahan dan berdoa!
5.
Latar/Setting:
Tempat : di
antara debu jalanan, di antara gedung-gedung pencakar langit yang tinggi.
Waktu : Pagi
Siang Sore
Suasana : Mengagumkan
6. Gaya Bahasa:
Bahasanya
menarik dan sopan
Unsur Ekstrinsik :
1. Agama : hanya lima kalimat itu yang dapat aku ucapkan
usai shalat.
2. Moral :
Pejabat yang hanya ingkar janji dan tidak ada bukti saat sudah menjabat.
3. Ekonomi :
Hidup seorang anak jalanan yang tidak berkemampuan dalam menjalankan hidup
4. Pendidikan :
seorang anak jalanan yang tidak mendapatkan sebuah pendidikan yang diinginkan anak jalanan
5. Politik :
Pejabat yang mengumbarkan janji
Sumber: http://kang-op.blogspot.co.id/p/cerpen-guru-unsur-intrinsik-ekstrinsik_71.html
Hasil Budaya
Puisi :
Darah Tinggi
Kemiskinan membuat darah naik
kalau tak mengeluarkan marah,
mati bisa jadi pilihan lain.
Di sini banyak orang mati
sebabnya hampir sama:
darah tinggi.
Bukan kebanyakan makan kambing
tapi karena:
“Dengan apa besok beli makan?”“Bapakmu tak dapat uang.”
“Lagi?”
“Sudah berhari-hari ini.”
Pipisan, 17 Juli 2016
Sumber: islambergerak.com/2016/09/puisi-kemiskinan/
Komentar
Posting Komentar